GENAP SNI berangkat dari kajian dan analisa atas sektor-sektor industri yang kelompok produknya menjadi komoditi perdagangan ekspor impor Indonesia China. Sektor-sektor industri ini akan terkena pengaruh dari pemberlakuan CAFTA. Seberapa besar tingkat pengaruh yang diderita sangat tergantung pada kesiapan industri masing- masing dalam mempersiapkan diri menghadapi persaingan dengan produk China. Namun, secara umum, kondisi sektor industry nasional dalam posisi kurang menguntungkan.
Dari pendapat dan pandangan asosiasi di berbagai sektor industri sebagaimana mengemuka dalam media massa, setidaknya tercatat 20 sektor industri yang akan terpengaruh oleh pemberlakuan CAFTA, yaitu : Baja Hilir, Pertanian & Industri Hasil Pertanian, Petrokimia Hulu, Tekstil, Benang dan Kain, Alumunium, Holtikultura, Mesin Perkakas Elektronika Kabel, Serat Sintesis, Funitur, Mainan Anak, Sepatu/Alas Kaki, Makanan Minuman, Plastik, Ban,Kosmetik, Alat Kesehatan, Kaca Lembaran dan Kakao Olahan. Data perdagangan ekspor impor Indonesia-China atas komoditi pada ke- 20 sektor industri tersebut mencatat bahwa total ekspor Indonesia ke China mencapai angka sebesar US$ 8,7 milyar, sementara nilai impor China ke Indonesia sebesar US$ 7,5 milyar.
Dari transaksi perdagangan ini, Indonesia memperoleh surplus sebesar US$ 1,2 milyar. Akan tetapi, surplus ini dihasilkan oleh dua sektor industri yang mendominasi ekspor Indonesia, yakni : Petrokimia Hulu dan Pertanian & Industri Hasil Pertanian. Yang juga mengalami surplus adalah sektor Kakao Olahan, sekalipun nilainya tidak signifikan. Kedua sektor ini sangat terkait dengan komoditi yang berasal dari sumber daya alam. Pada ke- 17 sektor industri lainnya, produk- produk China sangat dominan, sehingga Indonesia mengalami deficit perdagangan. Dari sini terlihat bahwa ekspor China ke Indonesia sangat ditopang oleh produk- produk hasil industri, sementara ekspor Indonesia ke China lebih mengandalkan produk- produk sumber daya alam.
Dari sudut ketersediaan SNI yang telah ditetapkan pada ke- 20 sektor industri tersebut, tercatat terdapat 2.058 SNI atau sekitar 30% dari total 6.839 SNI yang telah ditetapkan BSN. SNI terbanyak ada pada sektor Makanan dan Minuman (440 SNI), Mesin dan Perkakas (156 SNI), Tekstil dan Produk Tekstil (266 SNI), Plastik (79 SNI), Elektronika dan Kelistrikan (159 SNI), Benang dan Kain (142 SNI), Alat kesehatan (133 SNI), Holtikultura (113 SNI), Pertanian dan Industri Hasil Pertanian (121 SNI), Petrokimia Hulu (108 SNI), Alumunium (49 SNI), Alas Kaki (47 SNI), Baja Hilir (141 SNI), Furnitur (30 SNI), Kosmetik (30 SNI), Ban (15 SNI), Serat Sintesis (14 SNI), Kakao Olahan (10 SNI), Mainan Anak (4 SNI) dan Kaca Lembaran (1 SNI).
Dari 2.058 SNI yang ditetapkan pada 20 sektor tersebut, memang belum semuanya dapat diterapkan akibat berbagai kendala, utamanya ketersediaan infrastruktur dalam penerapan standar. Ada beberapa SNI yang tidak dapat diterapkan karena entah belum tersedianya laboratorium uji atau tiadanya Lembaga Sertifikasi Produk yang terakreditasi.