Dalam satu dekade ini, produk- produk China telah menjangkau dan merambah banyak Negara, termasuk Indonesia. Di tanah air, produk- produk dari “sang naga” ini terus saja meningkat dengan tajam mulai dari barang modal (mesin produk) elektronik, perkakas rumah tangga, makanan/minuman, mainan anak, kain dan garmen, obat- obatan, buah dan sayuran, sepatu/alas kaki, dan masih banyak lainnya. Produk-produk ini dijual dengan tingkat harga lebih murah baik dibandingkan dengan produk impor lain maupun produk local. Tidak hanya itu, produk- produk China ini beredar luas hingga pelosok tanah air. Di era CAFTA ini, produk-produk ini akan terus melaju dengan kecepatan tinggi tanpa hambatan.
Kehadiran produk- produk ini menciptakan kegelisahan banyak kalangan yang merasa khawatir bahwa produk- produk China akan memarginalkan industri domestik seperti elektronik, pakaian, tekstil, tas, sepatu, mainan anak, sandal, sepatu, jamu, makanan, minuman, sayuran/produk pertanian, produk perikanan/peternakan. Yang dinilai akan kian terdesak ke pinggir arena persaingnan adalah para pelaku industri Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang menghasilkan produk- produk tersebut dengan konsentrasi pasar dalam negeri.
Sebagai contoh, apa yang sudah terjadi pada industri batik yang merupakan produk dan symbol budaya Indonesia. Belakangan ini, China telah membuat dan memproduksi batik made in China, yang banyak ditemui di pasar- pasar tradisional atau pusat perbelanjaan grosir. Batik made in China ini laku keras di pasaran karena harganya terjangkau alias murah dan bentuk serta rupanya sangat mirip dengan batik Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada industri mebel nasional yang bersifat padat karya. Industri yang rata- rata merupakan industri UMKM ini sungguh- sungguh berada di tengah ancaman karena masuknya mebel China yang murah sekaligus unggul dalam desain. Sebagai gambaran, sofa minimalis yang merupakan produk mebel paling laris dipasar domestik. Dengan bentuk dan bahan yang sama, produk sofa impor China rata- rata dijual dengan harga setengah lebih murah dari sofa lokal, yakni dijual Rp. 1,2 juta sementara sofa lokal dijual RP. 2,5juta. Industri batik dan mebel merupakan dua contoh dari banyak sektor industri domestik yang terguncang akibat masuknya produk China ke pasar dalam negeri.
Yang cukup mengkhawatirkan adalah banyak produk impor dari China yang masuk ke Indonesia tidak memiliki standar atau tidak memenuhi SNI, yang dapat berakibat mendatangkan bahaya keamanan dan keselamatan konsumen yang mengkonsumsi atau memakainya. Simak kasus yang terjadi pada tahun 2007. Saat itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mngeluarkan surat peringatan tentang produk China yang mengandung bahan berbahaya. Produk makanan China seperti permen, manisan, dan buah kering, dinyatakan positif mengandung formalin. Beberapa produk kosmetik China beredar juga dinyatakan mengandung bahan berbahaya, antara lain merkuri (Hg) alias Air Raksa yang dilarang penggunaanya oleh Departemen Kesehatan. Atau kasus mainan anak disinyalir mengandung bahan berbahaya dan beracun. Pemerintah berkewajiban dan memiliki tanggung jawab untuk melindungi konsumen dalam negeri dari produk- produk China yang membahayakkan keamanan dan keselamatan masyarakat.
Pemberlakuan CAFTA telah menghadapkan Indonesia pada dua isu utama, yakni: Bagaimana memperkuat dan meningkatkan daya saing produk- produk nasional di pasar ekspor ASEAN sekaligus menahan laju agresivitas produk- produk China masuk ke pasar domestic. Mencegah beredarnya produk- produk China yang membahayakan keamanan dan keselamatan masyarakat yang menggunakan dan mengkonsumsi produk- produk tersebut. Salah satu solusi yang mujarab dalam merespon kedua isu tersebut adalah penerapan SNI.
Namun, realisasi penerapan SNI bukanlah hal yang sedehana, karena mempersyaratkan komitmen dan kesanggupan pelaku industri. Jika hal tersebut gagal dipenuhi, produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan baik di dalam negeri maupun internasional. Selain itu, juga harus tersedia infrastruktur penunjang untuk penerapan SNI seperti lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, dan laboratorium uji yang terakreditasi.
Di samping itu, penerapan SNI juga sering terbentur oleh kendala yang dikarenakan oleh kurangnya kesadaran dan pemahaman pelaku industri mengenai penerapan SNI. Akibatnya, penerapan SNI kurang mendapat perhatian sebagai bagian penting dari proses produksi. Tidak mengherankan, apabila banyak produk yang dihasilkan oleh industri nasional belum mendapatkan tanda SNI. Kecuali itu, kalangan industri juga kurang tanggap dalam memanfaatkan SNI yang tersedia. Dari sekitar 6.839 SNI yang telah diliris oleh BSN, baru sekitar 20% diterapkan dalm bidang industri. Angka ini menunjukan bahwa penerapan SNI oleh pelaku industri terbilang rendah.